Sabtu, 16 Maret 2019

SEANDAINYA DILAN ITU ANAK LORONG



 

 Disclaimer:
Tulisan ini bukan untuk mereview film Dilan 1990 & 1991, tak mencaci tapi juga tak memuji, hanya sekedar beropini, mengeluarkan pendapat pribadi.
FIlm Dilan terbukti laris. Tercatat sebagai film Indonesia ketiga yang terlaris sepanjang sejarah film Indonesia setelah Warkop Reborn, Dilan 1990 dan ketiga yaitu Dilan 1991 itu sendiri. Sosok seorang remaja Dilan digambarkan sebagai sosok representasi remaja  di era tahun 90 an dengan taraf kehidupan ekonomi yang bisa dibilang menengah keatas lah.

Meski beberapa scene dalam film ini sempat menimbulkan kontra oleh segelintir pihak di awal penayangan pada  sebuah bioskop di kota Anu, penafsiran cerita oleh sebahagian pendemo tersebut tak mengurungkan animo penonton lain. Mereka tak terpengaruh dan pulang tanpa rusuh, pulang membawa pesan berdasar sudut pandang masing masing, tanpa harus terus saling ngotot laiknya dua kubu simpatisan jelang Pilpres 2019 yang pelaksanaan tinggal menghitung hari.



Terus terang saya tak ikut merasakan euforia larisnya novel Dilan di era 90 waktu itu. Tak mengenal sosok penulisnya, Pidi Baiq. Om Pidi waktu itu anak lorong mana ya? Saya yakin, tentu masih banyak juga yang kan mengacungkan tangan jika diberi pertanyaan senada. Penonton 6 juta ditambah 3 juta di film pertama dan kedua yang didominasi gen milenial itu tentu banyak diantara mereka yang juga baru mengenal dilan justru lewat filmnya. Yakin dan percaya saja tak perlu merasa kuper dan kehilangan jejak, jika belum membaca novelnya. Minat bacaan saya saat itu hanyalah lebih ke seputar komik standar.  Hanya berkutat dengan tokoh Julian, Dicky, George, Anne  dan peliharan berekornya, Timmi di serial lima sekawan nya Enid Blyton, kungfu Boy dan Majalah Ananda dengan sewa 1000/buku di depan lorong. Jika ada kelebihan jajan, terkadang juga membeli beberapa majalah remaja sekedar tuk memburu bonus posternya saja. 

Lain padang, lain belalang. Entahlah karena informasi yang kurang dan  dikarenakan karena mungkin juga  saat itu usia Dilan dalam novel saya perkirakan kira kira terpaut lima tahunan lebih tua, dan juga berangkat dari lingkungan yang tak sama, sehingga sampailah saya pada kesimpulan sementara bahwa sosok dilan di film tersebut adalah sosok yang bisa dibilang, belum bisa dikatakan dapat mewakili kehidupan keseharian dan asmara mayoritas kehidupan  generasi sembilan puluhan seperti anak lorong. Tsahh!!  :p

film adalah selera. Orang akan menonton film apa yang diminatinya.  Menonton film Dilan tak harus menunggu harus menyukai dahulu jenis genre film seperti ini. Bisa saja ketertarikan kita akan timbul karena melihat jejeran pemainnya, penasaran dengan cerita kemasan, setting latar kota dan lain sebagainya.  Mengintip gaya berkasih Dilan dan Milea di dalam filmnya, jangan berharap kamu akan menemukan gaya pacaran ala Syamsul Bahri di sinetron Siti Nurbaya, atau film Ketika Cinta Bertasbih nya Om Habiburrahman. Itu jika  suka dengan jenis/genre film yg saya sebutkan tadi. Jangan juga berharap melihat satu scene di mana mereka saling tersipu malu  dengan pipi merona diatas becak ala Ainun Habibie. Atau melihat Dilan laiknya SangAji, si anak kutu buku yang jenius dari keluarga sederhana dalam sinetron serial Rumah Masa Depan era TVRI di tahun 90an.  

Dilan bukanlah Lupus nya Hilman Hariwijaya. Tidak juga seperti si Boy Ongki Alexander  yang borjuis di film Catatan si Boy.  Penokohan Dilan adalah seorang pelajar 90 yang sedikit nakal, tak menonjol dalam prestasi sekolah, ketua geng motor yang kadang terlibat tawuran, pribadinya romantis, dengan gaya berkasih modern, sering mengantar pulang kekasihnya tanpa helm dengan berkendaran Honda CB100 klasik, fashionable dan nyentrik, yang tentunya semua ini  terbungkus dalam suatu penggambaran bahwa Dilan ini masuk dalam golongan kaum ‘The Have’ di jamannya.

Dilan itu sebenarnya jenius. Dan romantis. Saya belum tau buku bacaan atau selera buku Dilan ini yang bagaimana. Apa berkiblat ke Remy Sylado, Freddy S ataukah Sapardi Joko Damono. Biasanya kalau pemuda yang puitis dan pandai merayu ujung ujungnya bisa dilihat darimana muasalnya. Bisa jadi dari buku bacaan sastra seperti Rangga, ataukah dari pergaulannya di komunitas seni dan bawaan diri.  Okelah, romantic tak harus puitis. Gombalan Dilan digambarkan sebagai suatu rayuan yang simple dan mudah dicerna, tak berat, nyastra dan butuh perenungan mendalam sebelum memahaminya. Mungkin si penulis Pidi Baiq selain ingin memasukkan true storynya dengan porsi 50%, juga tak lupa  menambahkan khayalannya dalam bumbu fiksi di porsi 50 selebihnya. Suka suka dia tentunya ,karena dia 'tosseng sede'’ yang empunya cerita. Beberapa ulasan senada saya ikutkan saja dari laman favorit seperti Tirto, Mojok dan kumparan

Kembali ke kehidupan lorong. Moga moga Bang Herdy + Lia Adnan atawa disingkat Dilan, juga tak lupa, masih banyak janda janda miskin diluar sana eh pemuda pemuda era 90 diluar sana yang kehidupannya tak semewah tapi tetap romantic diluar sana. Apa dilan pernah merasakan nongkrong duduk duduk di depan lorong sambal bermain gitar menghitung orang yang berlalu lalang  di larut malam? Atau cobalah sesekali dilan mencoba rasakan duduk dibelakang motor menjadi milea, naik motor tanpa masker saat hujan. 

Bukannya romantis, perlu diketahui Dilan, membonceng anak orang tanpa helm saat hujan apalagi seorang anak perempuan itu sepertinya beresiko. Bisa jadi besoknya kalian terserang flu. Belum lagi kena marah dari orangtua. Perlu diketahui, terkena air hujan itu karena tak memakai pelindung wajah itu ibarat tersengat ribuan jarum yang terasa menusuk wajah. Apalagi jika kebetulan rumah Milea juga berada di dalam lorong. Bisa bisa satu lorong akan mencari tau, ni anak pulang dengan siapa. Masuk di lorong juga jangan balap balap. Sebaiknya perlahan. Selain banyak polisi tidur, jika belum beruntung, kamu hanya akan di tandai oleh preman lorong yang kebetulan lagi ingin rese.

Tapi jangan kuatir Dilan. Tak semua lorong seperti itu kok. Jika Mileanya tinggal di Lorong Garden atau Longgar, justru kamu mungkin akan kerasan karena nuansa lorong garden terasa sejuk dan hijau lengkap dengan gambar gambar keren dari program pemda setempat. Ohiya, Dilan juga harus sesekali merasakan sensasi pulang  sekolah dengan naik angkot. Atau menunggu tumpangan teman yang memiliki motor sampai di belokan dan nyambung naik pete pete? Trip pulang sekolahmi dijamin juga akan tetap romantis. Bisa santai melihat pemandangan kiri kanan dan yang pasti lebih selonjoran kaki.

Kesederhanaan itu mahal. Ya memang mahal. Contoh saja, sifat sederhana itu bisa jadi komoditi yang mahal saat mereka sudah sukses dikemudian hari. kehidupan kesederhanaan disaat susah justru menjadikan nilai diri menjadi naik. Ada hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Sifat kesederhanaan akan di kembali ditonjolkan dalam penggambaran saat masa masa perjuangan meraih cita. Akan diulas dengan bangga dalam buku biografi hingga menimbulkan empati kepada  para pembaca.

Sebelum lebih jauh, ngomong ngomong, Dilan  tau kan yang namanya lorong? kalau masih bingung, tak apa kita samakan saja dulu persepsi lorong secara universal. Lorong itu sinonimnya seperti Gang lah. Yang jalannya model jalan setapak kecil, terkadang mentok/buntu. Ada juga yang sudah beraspal dan bahkan sekarang seperti di kotaku, lorongnya sudah dibuat lebih hijau bahkan diberi gambar mural. Berkehidupan di dalam lorong itu banyak suka dukanya. Tepo seliro dan dada harus siap meladeni seliweran celoteh tetangga kiri kanan. Privacy lebih terbuka, dan hal yang mungkin tak lazim dari kebiasaan berkehidupan dilorong akan langsung tersoroti, sifat kegotong royongan yang tinggi dan lain lain. Lorong yang bukan lorong lorongan. Karena sekarang ini ada juga mengklaim dirinya anak lorong tapi setelah ditelisik dengan seksama, jalan depan rumahnya lebih tepat disebut jalan raya.

Mari menghargai Kenangan
Kenangan itu mengingat sesuatu dimasa lalu. Mengenang kembali masa masa indah atau sedih. Kenangan tak selalu harus dikenang. Jika ia hanya memberi dampak buruk sebaiknya tak usah dikenang karena hanya akan memberi genangan air mata.

Sebenarnya tak heran juga kenapa film Dilan bisa menjadi Box Office? Bisa jadi karena marketable nya dapat. Ada sasaran yang dicapai. Memanfaatkan kejenuhan cerita dan rasa ketertarikan bagi para penonton di era 90an, mengajak bernostalgia dan memberi rasa keingintahuan dari penonton dari generasi milenial.

Kenangan tak bisa dipaksa. Kenangan ku dengan kenanganmu bisa saja berbeda. Ini tergantung dari bagaimana pengalaman hidup yang telah dilalui,  minat, sudut pandang serta beberapa factor lain yang membentuk pengalaman akan kenangan itu sendiri. Kenangan itu identik dengan hal yang indah. Dan jika indah, ia patut dikenang. Kenapa harus mengambil contoh kenangan di lorong. Yahh, karena di era 90 puluhan, banyak juga pemuda sepantaran Dilan yang tentu punya cerita sendiri di jamannya. Ingin menyampaikan bahwa sebenarnya masih banyak kehidupan menarik diluar sana yang jauh lebih romantis dibanding kehidupan Dilan. Pengalaman hidup yang berbeda tentu  akhirnya membentuk karakter khas dari orang tersebut dalam bersikap dan bertingkah laku sehari hari.

Menghargai kenangan bentuknya berupa rupa. Sekarang ini dijaman informasi berada di ujung jari, informasi tumpah ruah untuk siap disapih. Di laman facebook, para penggiat kenangan diera tahun 80 -90, beberapa grup komunitas mengajak tuk berjejaring. Salah satu contohnya adalah Grup Hits From 80s to 90s yang diprakasai Nicko Krisna. Selengkapnya tentang Nicko dapat diliat di sini

Grup ini sempat booming beberapa waktu lalu dengan notifikasi hampir ribuan setiap hari. Sempat di ulas dibeberapa news dan infotainment, dari merchandise sampai kopi darat dan hingga kini meski mulai meredup sepeninggal nicko, grup ini masih menawarkan magnet bagi mereka suka dengan kenangan terlahir ditahun tersebut diatas.

Di kota Makassar sendiri, bentuk apresiasi mengenang kembali kenangan tahun 90 an dalam bentuk menggelar even tahunan Makassar Traditional Games Festival atau MTGF. Disana kita dapat menemukan aneka jenis permainan rakyat  seperti lompat tali, engrang, petak umpek, Meriam bambu dan lain sebagainya. Komunitas ini intesn mengggelar even secara gratis sejak beberapa tahun lalu dan biasanya lebih sering menggelar permainan di ikon ikon kota Makassar seperti Fort Rotterdam dan Monumen Mandala Makassar.

Sebelum mengakhiri, saya ingin menyimpulkan pesan bahwa Film Dilan ini sukses mengingatkan kembali semangat generasi tahun 90an tanpa harus menjelaskan dengan mengharu biru, pembuktian cinta dengan berakhir di ranjang sebelum ikatan pernikahan seperti laiknya film barat remaja .

Generasi  sembilan puluhan lah yang bisa diklaim sebagai generasi terakhir yang sukses merekam lagu Ace of Base selama berjam jama dari radio tape recorder lalu  akhirnya men-download lagu Virgoun Tambunan dari gadget. Dari  bermain karambol lalu berkutat dengan Prison Survivor di gadget, tertawa lepas ber-haha hihi diberanda rumah tanpa harus menyudut diri dibalik bantal memainkan tuts emoji karakter, menonton TV little House on the praire tanpa harus berebutan chanel lalu akhirnya melangkahi zaman setelahnya dengan menikmati segelas latte disudut kafe sembari menyimak channel AHHA di Youtube.

Generasi  sembilan puluhan adalah generasi yg layak disebut generasi paling beruntung. yang mengalami loncatan teknologi begitu mengejutkan di abad milenial dengan kondisi usia yang sekarang sudah paruh baya, mengenang suara riuh suara mesin tik saat jemari menari mengetik sebuah cerita blog diatas keyboard laptop.

17 komentar:

Irma mengatakan...

Saya setuju bahwa ada yang tak bisa dibeli dengan uang, uang bukanlah segalanya.

Ngomong-ngomong tentang lorong apalagi lorong garden, saya pernah menjadi "anak lorong" kurang lebih dua bulan, berinteraksi dengan penghuni lorong yang ramah.

Mugniar mengatakan...

Daeng, novel Dilan ini setahuku tahun 2000-an pi ada. Dia menggambarkan remaja SMA tahun 90-an awal, masa di mana saya SMA tapi saya ndak ngeh apa ada ya cowok model begitu dulu? Eh kalaupun ada bukan tipeku, sih hahaha. Itu mi makanya saya saya ndak ngeh.

Daeng Ipul mengatakan...

Tunggu, ini sengaja ya tampilan tulisan di mobile begitu? Latar putih dan huruf diblok hitam?

Agak susah ka baca ki hahaha.
Belum lagi ada banyak kesalahan penulisan nama, harusnya Dilan ditulis dilan.

Mengurangi kenikmatan membaca, ups.

Kareba Makassar mengatakan...

Kota anu, hehe, sudah pada tersebar, aksi penolakan di Kota Makassar..Tapi selain aksinya masih bnyak hal-hap positif di Kota Makassar.

Kalau film Dilan ini, waktu nonton nih film pas masih gempar2nya di Kota Makassar..tidak ada adegan yang dimaksud sebagai alasan para pemdemo di Dilan 1991.

Unknown mengatakan...

ada pengantar di grup 'tabbongkar'😁

Unknown mengatakan...

Hehe

lelakibugis mengatakan...

speechless.. bingung mau komentar apa.. itu tulisan putih dengan latar hitam dengan latar blog yang putih disengaja? sungguh mubazir, kisanak.

Unknown mengatakan...

Diluar kuasa itu om, dah maksimalmi di otaknatik saat itu. Yg penting smangat menulisnya tetap harus dijaga tanpa kendala ruang dan waktu #ehh😁

Ulmona mengatakan...

Saya punya novel dilan, lengkap. Sampai novel milea yg katanya juga akan di filmkan.
Tapi, yaa..klo saya tetap menjadi pembaca nya saja. Bukanji penontonnya. Krn yang jadi Dilan, tidak sesuai ekspektasiku, wkwkkwkwk.

Novie Mochtar mengatakan...

Tampilan begini mi yang nda kuminta-minta saat buka blog. latar hitam, sempit, tulisan putih. Langsung mata tuaku kodong bereaksi kayak kunang-kunang ka bukan ki generasi dilan maumidiapa. Tapi sungguh terhibur dengan disebut novel Enid Blyton lima sekawan sama Remi Sylado kusukanya ituuu.

Unknown mengatakan...

Pnjamkaaa odongkk🤣

Unknown mengatakan...

Iya momi diapa odongk. Maafkann. Untumg bilangja tinggalkan pesan bijakta disini hehe

Unknown mengatakan...

Sampai sekarang saya belum tertarik membaca atau menonton filmnya. Dunno why!


Btw sakit mataku baca inj blog. Kenapa bisa seperti itu?

Siska Dwyta mengatakan...

Suka dengan tulisannya di atas tapi maaf daeng saya bacanya tidak sampai akhir karena sakit mataku. Kalau boleh saya saran mending tulisannya di luar disclaimer tidak usah dikasih warna hitamputih gitu. Yang natural saja, bisa lebih nyaman bacanya...

*ngomong-ngomong soal Dilan sampai sekarang saya juga belum nonton filmnya baik yang 1990 maupun 1991. Cuma pernah baca novelnya saja...

Sluggish journey mengatakan...

Sama dengan kak siska, mata maya sakit baca tulisan ini kak haha.

Dan saya juga belum nonton filmnya (1990 dan 1991), bahkan novelnya juga belum baca haha. Entah kenapa sy tdk tertarik untuk menonton dan membacanya.

Betul apa yg kita kita katakan diawal kak bahwa menonton film itu sesuai dengan genre atau pilihan si penonton. Kalau sy sendiri tdk suka yg romantic sukanya yg action haha

Adda mengatakan...

Agak ndak konsenka baca posting ini karena tampilannya. Setiap karakter muncul dari latar belakang tertentu dan pengalaman tertentu. Saya setuju bahwa Dilan adalah genre karakter tertentu

Unga mengatakan...

Saya ndak kenal Dilan, tadinya juga ndak berniat nonton filmnya, tapi akhirnya penasaran terbayarkan dan hasilnya, buatku film ini cukup menarik untuk sekedar menghibur emak-emak yang suka hiburan receh macam saya... Hehehe