Selasa, 17 Mei 2011

Pulau Lakkang: Menyisir sejarah Nippon Tempo doeloe

SEJARAH LAKKANG

Pulau Lakkang konon sudah dihuni sejak awal agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan sekitar abad ke-14. Dari segi sejarah sejarah sendiri, desa Lakkang dulunya bernama ‘Bonto Mallangngere’. Jika diartikan dalam bahasa Makassar artinya adalah gunung tinggi dan memiliki pendengaran yang tajam. Entah kenapa sampai di sebut seperti itu, cuman menurut cerita warga setempat, pada jaman penjajahan dahulu, penduduk waktu itu mempunyai kemampuan mendengar kejadian yang ada di kota Makassar dengan naik puncak tebing. Penamaaan ini bisa jadi betul dengan melihat dari kultur tanah yang termasuk lebih tinggi dibanding kota Makassar.

Di zaman penjajahan, Serdadu Jepang sempat mendiami pulau ini selama kurang lebih tujuh bulan. Waktu itu. Delta Tallo (sekarang desa Lakkang) dipilih sebagai tempat untuk berlindung dan menyelamatkan diri dari serangan darat dengan memperkirakan lokasi Lakkang masih sulit dijangkau karena dikelilingi air sungai Tello. Nah, setelah Hiroshima dijatuhi dibom atom, para serdadu nipon ini akhirnya mengungsi keluar dari lakkang dengan meninggalkan sekitar tujuh bungker.

Setelah jepang pergi, gerombolan Kahar Muzakkar datang dan mengusir penduduk asli. Mereka mendiami tempat itu sampai akhirnya ditumpas oleh tentara dari Pulau Jawa. Melihat Delta tak lagi berpenghuni, Warga asli pun kembali lagi. Penduduk asli yang kembali itu pun akhirnya menamai pulau ini dengan sebutan LAKKANG (tidak bisa berpisah). Kira kira kalo di EYD kan disebut Lekang *tak lekang oleh waktu*. Harapan mereka agar supaya mereka dan keluarga bisa kembali hidup tenang dan tak lagi berpisah dengan tempat yang mereka cintai ini

DESA LAKKANG

Ini kali kedua saya berkunjung di desa ini. Sebelumnya karena urusan jalan jalan, dan kali ini saya datang bersama teman teman pasapeda kantor, hmm jalan jalan lagi :). Seingat saya, desa ini sudah cukup berkembang. Apalagi jamuan ikan bakar dan udang sebagai menu siang dari pak Imam desa menambah semangat sekaligus kembali memutar roda kenangan manis akan desa Lakkang, tanah jejak para nippon dulu berlabuh.

Sebenarnya ada beberapa referensi mengenai desa ini. Kita dengan mudahnya tinggal men-search nya saja di mesin pencari di Internet. Tapi tak apalah saya menyarikan kembali dari berbagai sumber.

Desa Lakkang ini memiliki luas 165 hektar dengan didominasi lahan tambahan seluas 122 hektare dipesisir sungai. Terkurung oleh perairan sungai Tallo dan Sungai Pampang, dua dari tiga sungai yang membelah kota Makassar Beberapa informasi menyebutkan, lebar sungai hampir mencapai 10 meter dari depan dermaga Kera kera (Unhas) tapi bisa mencapai 50 Meter dengan kedalaman empat hingga lima meter jika semakin menuju ke pertengahan sungai. Desa Lakkang masuk dalam area Kelurahan Lakkang, kecamatan Tello Kota Makassar.

Menyusuri Sungai TELLO

Sebenarnya terlalu dini untuk menyebut Lakkang laksana Kota Air Venesia, di Itali sono. Atau bungker yang mirip vietkong ala Vietnam. Butuh waktu beberapa tahun kedepan untuk memolesnya. Setidaknya jika dipertahankan, keaslian desa dengan konsep terpadu menjadi modal dasar untuk menyulap kawasan ini menjadi asset pemerintah yang menjanjikan dimasa datang. Letaknya cukup mudah dijangkau serta tranportasi dekat dan murah. Untuk menuju kesana kita untuk sementara ini harus menggunakan transportasi sungai yaitu dua buah perahu fiber yang diberi papan diatasnya berukuran 4x3 meter, dapat mengangkut sampai belasan orang ditambah muatan barang bawaan. Bisa juga menggunakan roda dua seperti motor atau sepeda yang kemudian diangkut diatas perahu untuk dipakai berkeliling di sana.

Ada beberapa dermaga yang bisa dipilih atau yang dianggap mudah terjangkau dari tempat tinggal. Dermaga yang paling familiar adalah Dermaga Kera Kera yang berada didalam area kampus Unhas Tamalanrea. Lokasinya di arah barat atau di belakang teaching farm fakultas pertanian dan peternakan Universitas Hasanuddin. Dermaga yang lainnya berada di lokasi tol Lama Jl. Ir. Sutami, yaitu dikawasan pergudangan Industri Makassar, dekat Gudang PT. Ajinomoto. Aksesnya bisa dilalui lewat jalan samping SPBU Kima. Di dermaga Kima ini ada dua tempat menunggu perahu penyebrangan. Bisa dengan dengan menunggu di pinggir sungai atau bisa juga menyusuri jalan tambak kira 2 kilo meter sepanjang pematang tambak untuk menuju dermaga berikutnya.

Dermaga lainnya adalah dermaga Rappokalling di Kecamatan Tallo. Untuk menjangkaunya masuk lewat di sekitar jl Gatot Subroto atau dekat dengan Bosowa Footbal Centre. Sedangkan dermaga terjauh adalah dermaga bukit baruga yang terletak di belakang perumahan bukit baruga. Bagi mereka yang ingin menikmati wisata bakau sungai lebih lama dapat memilih rute dermaga ini.

Biaya transportasi juga sangat murah. Jika menyebrang tanpa kendaraan bermotor cukup dikenakan Rp. 2000,-, Jika membawa kendaraan dua roda maka ditambah Rp. 1000,- dengan lama perjalanan sekitar 15 menit dari dermaga tedekat (Kera-Kera Unhas). Sepanjang jalan sungai banyak ditumbuhi bakau serta Nira yang tumbuh hampir disepanjang daerah aliran sungai.

BERSEPEDA di DESA LAKKANG

Tak kenal maka tak sayang. Sekali waktu saya sempat bertanya kepada seorang alumni Unhas dari sebuah fakultas. Rupanya ia juga tak mengetahui pasti letak desa Lakkang tersebut. Yang satunya lagi malah lebih parah, boro boro untuk sampai kesana, mendengar nama Lakkang juga baru sekali dua kali. Sepertinya Desa Lakkang memang masih harus terus berbenah untuk dapat memproklamirkan dirinya sendiri.

Dari aspek geologis sendiri, Desa Lakkang adalah sebuat delta (pulau yang dikelilingi oleh Sungai) . Sebuah delta yang terbentuk karena endapan sendimen selama ratusan tahun seluar 200 meter persegi yang akhirnya disebut delta Sungai Tallo

Menyusuri jalan masuk desa, sebuah gerbang selamat datang berdiri sebagai penanda. Tampak logo sebuah perusahaan selular dan perbankan ada disana. Suasana asri dan alami langsung terasa. Lakkang menawarkan jalan kecil setapak dengan rimbun pohon bambu, kebun serta tambak di antara rumah panggung kayu berarsitektur Makassar khas masyarakat Lakkang. Dua bangunan Mesjid, lapangan desa serta kuburan rakyat tampak menyatu. Menurut Sekretaris Lurah Pak Anas yg saya temui, desa ini dihuni sekitar 125 keluarga atau sekitar 1000 lebih jiwa penduduk yang berprofesi sebagai petambak dan nelayan musiman tergantung hujan atau kemarau yang siap menerima perubahan positif demi kemajuan desa.

Laiknya karakteristik delta ditengah sungai, Lakkang familiar dengan rimbun pohon bakau selama perjalanan menuju kesana. Buat para fishering tentunya ini merupakan alternative dan surga local bagi mereka yang senang dengan santapan ikan baronang, mujair dan bandeng serta udang dan kepiting. Semuanya mudah didapatkan. Udaranya masih jauh dari Polusi serta tetap mempertahankan langgam kehidupan yang harmonis

Jalan desa sudah terbuat dari paving blok di beberapa alur berkat bantuan dana kompensasi sektor infrastruktur. Jalannya terbuat dari paving blok selebar dua meter. Sisi kiri dan kanan jalan berjejer rumah panggung. Masyarakat terbuka menerima perubahan positif demi kemajuan desa.

VIETKONG ALA MAKASSAR

Selain suguhan alam khas desa ditengah kota, Lakkang memiliki tiga dari tujuh bunker tua peninggalan jepang yang masih utuh. Tak seperti bunker di vietkong -Vietnam yang lebih besar dan panjang, bunker peninggalan di lakkang ini relatif lebih kecil dan pendek. Bunker ini sudah tertimbun sekitar 50 tahun lamanya hingga akhirnya atas inisiatif dari pemerintah untuk membuka lokasi Lakkang sebagai potensi yang bisa dipoles dan juga mengandung nilai sejarah, akhirnya penggalian dilakukan secara bahu membahu oleh personil koramil Tallo, Lantamal VI dan masyarakat lakkang atas prakarsa LPP dan dinas kebudayaan dan pariwisata Makassar beberapa waktu lalu

Hasilnya adalah 3 (tiga) Bunker yang masih bisa diselamatkan, empat lainnya sudah dinyatakan hancur dan sudah dibanguni rumah warga diatas tanah bunker tersebut.

Desa Lakkang mempunyai tujuh bunker peninggalan Jepang yang dimana antara bunker satu dan lainnya saling terhubung. Hanya saja, penggalian dilakukan terhadap tiga bunker yang masih bisa diselamatkan.

Bunker pertama bentuknya seperti ruang lebar dengan kedalaman tanah kurang lebih 15 x15 meter. Lubang masuknya berbentuk terowongan kecil berdiameter 70 centimeter. Saya cukup kesulitan juga tuk masuk kedalamnya karena harus merebahkan badan sekitar 30 derajat.

Diperkirakan bunker pertama ini sebagai tempat perlindungan dan logistic melihat ruang yang cukup besar berbentuk persegi empat tanpa sekat yang diperkirakan bisa memuat sampai 20 orang fisik serdadu

Bunker kedua letaknya disebelah barat bunker utama dengan diameter lebih kecil. Ukurannya sekitar 7x7 dengan dua pintu berbentuk terowongan berukuran sedikit lebih besar dari bunker pertama. Bunker kedua ini diperkirakan sebagai bunker pertahanan yang berfungsi melindungi bunker utama dari serangan tentara sekutu dari arah kota Makassar

Sedangkan bungker ketiga bentuknya seperti terowongan memanjang dengan dua pintu. Ukurannya seperti bunker pertama dengan fungsi yang juga sama seperti bunker pertama yang berfungsi sebagai bunker pertahanan dari serangan tentara sekutu dari arah timur laut.

Hampir dipastikan antara bungker satu dan yang lainnya saling terhubung. Salah satu bunker hingga sekarang telah diberikan tanda dan pengaman seadanya. Sedangkan empat bunker lainnya hanya terlihat seperti gundukan tanah dengan onggokan daun yang menghampar menutupi tanah. Materil bunker adalah semen, batu sungai dan pasir muara yang diperkirakan dibangun di jaman kemerdekaan antara 1944 -1945 yaitu masa berakhirnya kekuasaan jepang di Indonesia. Bunker ini selai berfungsi menyimpan logistic juga diperkirakan sebagai tempat pertahanan saat jepang terdesak kalah dan menunggu sampai bantuan datang

1 komentar:

Daengrusle mengatakan...

Mantap liputannya cess
Mesti di-panyingkul-kan....he3