 |
(Foto dari Merdeka.Com) |
Ada
tulisan menarik dari Bapak Yusran Pare yang saya rujuk sepenuhnya. Isinya
menggelitik dan cukup menyentil. Sepertinya tulisan ini adalah gambaran potret
buram transportasi Indonesia kita. Dimana tak seperti di negara maju lainnya.
Konotasi kelas Ekonomi dinegara kita memang masih semrawut dan masih dipandang sebelah mata bagi
kaum ‘The have’ yang senang akan kenyamanan, keamanan plus pencitraan J
Terkadang
kemampuan financial kita membuat tak ada pilihan lain untuk memilih ‘kelas Ekonomi’ Mau tak mau, ketakutan
mengenai kerawanan atau kejahatan kejahatan lain yang sering terjadi di kelas
ekonomi seperti yang tergambar di berita TV selama ini tak lagi di indahkan asal bisa sampai ketujuan
dengan cepat.
Entah siapa
yang memulai menggunakan ‘Ekonomi’ sebagai istilah untuk kelas paling rendah
dalam tingkatan layanan bagi publik. Tak percaya? Silakan gunakan jasa
angkutan umum di darat dan laut.
Duduk
di kelas ekonomi rasanya hampir sama dengan kedudukan seekor kambing. Apalagi di
saat-saat musim libur seperti menjelang lebaran dan Tahun baru. Tak percaya?
Pada
moda angkutan tersebut, penghuni kelas ini hampir disetarakan dengan barang,
tanpa jiwa tak beremosi. Mari tengok dan rasakan ‘ekonomi’ di kapal-kapal
motor yang membelah laut menjembatani pulau-pulau lain di bentangan zamrud
khatulistiwa.
Atau,
cobalah sesekali naik kereta ‘Ekonomi’ dari Jakarta ke Surabaya atau ke mana
sajalah jurusannya. Di sinilah sesungguhnya kita merasakan arti “kebersamaan
dalam kesengsaraan” sebuah negeri makmur dari barat hingga ke timur.
Di
kelas ‘ekonomi’ ini pula kita bersama-sama berpeluh, berdesak, berebut ruang
untuk sekadar bernapas, sambil menyaksikan dari balik jendela berkarat,
bertapa biru dan luasnya laut. Betapa hijau dan permainya ladang, sawah, kebun
dan gunung di kiri-kanan jendela –tanpa kaca– kereta.
Di
kelas ‘ekonomi’ pula, kita akan merasakan bagaimana sengsaranya kebersamaan
dalam kelaparan dan kehausan terpanggang suhu tanpa berpengatur, antre
mendapatkan sepiring nasi dan sepotong ikan entah apa, sementara di bawah kita
di kedalaman samudera berjuta-juta ikan menanti dikelola.
Orang
bilang, pembagian kelas dalam hal pelayanan kenyamanan adalah sah-sah dan wajar
saja. Orang berhak memilih mau dilayani secara mewah, atau secara alakadarnya,
terserah, sebab masing-masing memberi konsekuensi sendiri-sendiri.
Namun
dalam hal keamanan, tidak ada tawar menawar. Kelas Very Very Important
Person (VVIP), kelas Very Important Person (VIP),
kelas eksekutif, kelas binsis, kelas ekonomi, semua berhak memperoleh layanan
dan jaminan keamanan yang sama.
Soalnya,
musibah dan kecelakaan tak mengenal kelas. Ketika Boeing 737 menabrak gedung
kembar WTC di New York, penumpang di kelas ekonomi sama sialnya dengan kelas
eksekutif atau bisnis.Begitu pula ketika Garuda terbakar saat mendarat di Yogya
tempo hari, atau ketika Adam Air nyemplung ke perairan Majene -Sulawesi Barat.
Ketika Kapal Motor Egon kandas di perairan Barito beberapa waktu lalu pun
penumpang kelas geladak sama sialnya dengan penumpang kelas I, meski
kenyamanan mereka berbeda. Ketika Tampomas II terbakar dan karam di perairan
Masalembo, maut tak memilih-milih penumpang kelas mana dahulu yang akan
“diambil”.
Tapi
bagaimana kita bisa mengharap jaminan keamanan yang utama jika layanan
kenyamanan saja belum kita dapatkan sesuai dengan ‘kelas’ yang kita ambil?
Jika penumpang berstatus eksekutif saja bisa menikmati layanan
ketaknyamanan yang sungguh tak selaras dengan kelas yang didudukinya, apalagi
penumpang kelas “ekonomi.”
Selain
mendapat layanan kenyamanan yang sama dengan kambing atau ikan sarden, perlindungan
keamanan dan keselamatannya pun sangat alakadarnya. Bahkan kadang nyaris tanpa
perlindungan sama sekali.
Di
pesawat terbang komersial mungkin kita akan mendapatkannya, tapi hampir pasti
tak akan kita peroleh pada moda angkutan darat dan laut. Jika dalam pengelolaan
hal angkutan udara kita bisa mengikuti atau mendekati layanan kenyamanan dan
keamanan standar seperti yang diberlakukan secara umum di dunia, mengapa pada
angkutan darat dan laut tidak?
Boleh
jadi, itu sebabnya warga kita cenderung berlomba memiliki dan menggunakan
kendaraan pribadi. Di samping penting untuk melengkapi simbol status –agar
tidak di kelas “ekonomi” terus– juga karena angkutan darat tidak menjanjikan
keamanan.
Ada
baiknya para wakil rakyat dan para pejabat kita sesekali juga bergaya blusukan. Bukan hanya merasakan kelas ekonomi saat musim kampanye saja. Duduk berdampingan bersama rakyatnya di kelas “ekonomi”. Apakah di kapal, di kereta Api, atau di bus umum tanpa mengenakan seragam dan atribut mereka. Agar lebih dekat dan merasakan langsung ' romantisme' Kelas Ekonomi .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar