Ceritanya fiksi dgn pendekatan muatan lokal. Pemilihan nama dan setting tempat bukan sebenarnya. Menurutku sieh ceritanya malah lebih ke genre horor :)
“ Ma’, Aku
melihat bola api itu lagi, !!
Mamak
menengadahkan kepala, mendongak kearah atap seng rumah milik Haji Pore,
tetangganya. “apa sede lagi kau lihat” sahut daeng Rannu sambil menarik lengan
anaknya, setelah sebelumnya mengunci
rapat jendela rumah..
Senja turun. Kumandang
azan magrib sudah lewat dari tadi. Temaram menyelimuti hingga menutupi paladang (beranda) rumah panggung milik keluarga Tata Sarro. Sejak kejadian dua tahun silam, daeng Rannu
masih terkenang mendiang anaknya. Setiap duduk di beranda rumah dan kebetulan
saya lewat di depannya, beliau pastia menyelipkan cerita mendiang anaknya. Terkadang
di setiap penggalan ceritanya, saya melihat kedua bola matanya masih sering berkaca
kaca. Gurat kesedihan masih mendalam disana.
Emak Rannu sesekali
menyeka air matanya yang meleleh. Jika melihat anak sebaya, ia masih terbayang
almarhum Sampara. Ingatan akan keranda yang diusung juga serasa masih jelas di
pelupuk mata. Kepergian anaknya dianggap
begitu cepat. Di usia yang masih muda sesaat jelang ujian sidang skripsinya,
Sampara telah menghembuskan nafas, meninggalkan dunia fana dengan
riwayat penyakit yang sampai sekarang belum jelas diketahui.
Dimata rekan
sepermainannya, Sampara dikenal cukup ramah, terkadang rumahnya yang tak jauh
dari sekolah malah sering ditempati sebagai tempat penitipan sepeda oleh
beberapa teman sekelasnya. Hingga akhirnya selepas SMP, kami pun memilih jalan
masing masing. Sampara memutuskan untuk masuk di STM dan saya memilih salah satu Sekolah Menengah Umum Negeri di
Makassar. Sejak itulah, komunikasi kami menjadi berkurang.
Delapan tahun sepertinya
begitu cepat. Saya kembali bertemu dengan Sampara di suatu acara pernikahan
seorang teman sekolahan. Katanya, selama beberapa waktu terakhir, Ia sempat
juga bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kalimantan, dan sekarang tengah
melanjutkan kembali kuliah Teknik jalur Ekstensi yang sempat tertunda di sebuah Perguruan Negeri di Makassar. Kami pun lama bertukar cerita sampai akhirnya
sepakat untuk bertemu di rumah esok harinya.
Sampara bercerita
bahwa beberapa hari terakhir ini ia sering melihat beberapa percik merah
menyerupai bola api panjang melintas di samping rumahnya. Warnanya begitu
indah, seperti binatang malam yang baru keluar dari sarangnya dan terbang
melintas menuju alam bebas. Bola api itu bergerak secara beriringan. Menurut
Mamaknya, konon ada beberapa kepercayaan orang dahulu, itu bisa jadi sebuah
tanda alam dimulainya pergantian hari menuju malam. Malah sebahagian cerita orang
bugis yang tinggal di beberapa tempat tertentu mengatakan, hal seperti itu bisa
juga sebagai pertanda adanya semacam Ilmu hitam, Tula atau guna guna/ jampi yang sengaja dikirimkan
orang tertentu ke pada orang yang dimaksud.
Benar tidaknya
cerita tentang bola bola api, entah sebagai isapan jempol atau cerita kepercayaan
orang orang tua terdahulu, yang jelas kami tidak lagi mempersoalkannya. Sampara
pun minta ijin pulang. Saya sempat menahannya berhubung gerimis mulai turun. Saat itu ia berlari kecil pulang karena tidak membawa mantel hujan. Ternyata itulah kali terakhir kebersamaan saya
dengannya. Kurang lebih dua minggu berselang, saya mendapat kabar dari seorang
kawan bahwa Sampara sudah menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di dekat pantai Losari.
Rupanya tiga hari
sebelum meninggal, Sampara menderita batuk berkepanjangan. Menurut Mamaknya,
awalnya ia hanya mengeluhkan sakit pada perutnya. Keesokan harinya batuk tak kunjung
sembuh, oleh dokter, Sampara disarankan untuk istirahat dan tetapi keesokan
hari ia semakin tersiksa dengan batuknya. Lehernya mulai menggembung. Obat
menjadi sulit tertelan dan hanya memuntahkan makanan. Semakin khawatir dengan
kondisi anak lelakinya, akhirnya diputuskan untuk rawat inap. Hasil diagnosa
sementara, katanya Sampara mengalami radang paru-paru. Tetapi orang tuanya mengatakan
bahwa seumur umur, Sampara bukanlah pecandu rokok apalagi mempunyai riwayat
penyakit serius seperti radang paru-paru. Keluarganya pun panik. Dalam kurun
waktu tiga hari kondisi Sampara semakin mengkhawatirkan..
Di malam sebelum
berpulang, Sampara sempat berbisik kepada emaknya. Bercerita tentang mimpinya
semalam. Di dalam tidurnya ia dibawa oleh seorang yang tidak dikenalnya ke
dalam suatu tempat yang gelap. Di dalam ruangan itu, perempuan yang berjalan
didepan Sampara itu tiba tiba berbarlik dan melempari sampara dengan ikan busuk hingga mengenai
dadanya. Begitu terbangun dari tidurnya, ia pun merasakan sakit di bahagian ulu
hati dan dada yang luar biasa. Karena semakin sulit bicara, ia hanya memberi
isyarat kepada mamaknya untuk mendekat dan membisikan niatnya untuk menyikat
gigi. Katanya ia merasa gerah beberapa hari terakhir tidak mandi dan menggosok
gigi.
***
“Jadi kapan ki
tau kalau Sampara sudah meninggal?. Tanyaku. Emak hanya diam dan akhirnya saya
memutuskan untuk tidak melanjutkan
pertanyaan lagi. Bangkit dan minta izin untuk pamit pulang mengingat hari juga
sudah berangsur sore. “Sesekali singgah ko di sini nak,” sampaikan salamku
untuk orang tuamu”. ujar daeng Rannu
sambil mengantarku sampai depan pintu pagarnya.
Hari ini sudah tepat tujuh tahun hari kepergian Sampara. Tanpa sengaja
saya kembali melintasi jalan sekolahan dahulu. Sejenak melayangkan
pandang keluar jendela Makasar. Sore yang sepi. Melintasi jembatan menuju arah
luar kota, teman saya berbisik sepertinya ia melihat rona merah di bebaris
pucuk pohon berbias lembayung,. Warnanya indah sekali. Saya ikut melayangkan
pandang melihat kearah yang dimaksud. Tiba tiba perasaan gelisah meyelimuti.
Warna itu brgerak memanjang membentuk
percik merah. Percik merah layaknya menyerupai
bola api seperti cerita Sampara dahulu.
Nb:
*doti- Istilah familiar dalam bahasa Mandar/MksSejenis ilmu hitam yg biasa dikirimkan orang2 jahatNb:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar