HABIBIENOMICS;
Belum genap sebulan kepergian Bapak Teknokrat dan Demokrasi
Indonesia, Bacharuddin. Jusuf Habibie atau B.J. Habibie. Sampai di penghujung bulan September 2019 ini, beberapa sudut ruas jalan dan perumahan sekitar
masih terlihat bendera setengah tiang yang belum diturunkan. Sepertinya rasa berkabung
itu belum juga hilang. Kepergian Eyang
Rudy Habibie memberi duka mendalam, tidak saja bagi keluarga yang ditinggal tapi
juga bagi masyarakat yang pernah mengenal,
baik yang sudah bertatap langsung maupun yang hanya bisa melihat sosok beliau di media. Seorang figur bapak
yang sangat mencintai dan di cintai oleh
keluarga dan negaranya, Guru Bangsa yang
telah banyak berkontribusi memberikan pemikiran untuk kemajuan bagi bangsa Indonesia
sepanjang masa.
Ketokohan seorang Habibie sepertinya tak cukup dirangkum
hanya dalam satu kisah obituari atau lewat penggambaran ketiga film semi biopik
Habibie-Ainun karya besutan sineas muda, Hanung Bramantyo saja. Esensi
pemikirannya telah mengisi begitu banyak ruang hati masyarakat. Sepanjang hayatnya,
Pak Habibie telah mewakafkan diri dengan berbagai pemikiran ilmu dan tindakan.
Teori crack atau keretakan pada pesawat, berhasil melepaskan
label orde baru, membuka kran demokratis multipartai, kebebasan pers, mengharumkan
nama bangsa di bidang teknologi dan beberapa sumbangsih pemikiran lainnya adalah
bukti bahwa beliau memang layak di tasbihkan sebagai sosok negarawan berintegritas
tinggi, mengkombinasikan Imtaq dan Imtek, kecemerlangan otak kanan dan kiri dan
sebagai putera terbaik yang pernah di miliki bangsa. Salah satu
gagasannya itu adalah mencetuskan pembentuknya
perbankan syariah di Indonesia.
Gagasan
dalam membidani lahirnya sistem perbankan syariah pertama di Indonesia ini
sebenarnya sudah bergulir sejak beliau masih menjabat sebagai Menteri Riset dan
Teknologi di era Pak Harto. Setelah menjadi Presiden Ke-3 RI di bulan Mei 1998,
kontribusi kemajuan perbankan syariah semakin bekembang di Indonesia di tandai
dengan semakin berlombanya bank-bank konvensional untuk membuka unit usaha
syariah.
Sebagai
seorang cendikiawan muslim moderat yang mengenyam asam garam hidup di Eropa,
Pak Habibie di hadapkan pada situasi ekonomi yang sangat sulit saat itu.
Terjadinya rush money atau penarikan
uang secara besar besaran di beberapa perbankan, tarik menarik kepentingan
politik, serta sentiman pasar yang semakin buruk bersamaan dengan ambruknya
ekonomi Asia, membuat Habibie sebagai
pucuk tertinggi pemimpin negeri harus mengambil beberapa langkah kebijakan ekonomi.
Salah satunya adalah dengan menggulirkan kembali penerapan sistem ekonomi perbankan
berbasis syariah.
Sistem ekonomi syariah ini terbukti mampu
bertahan dan keluar dari krisis tahun 1998.
Mengapa demikian? Sederhananya adalah, Bank Syariah menerapkan pola pemberian
keuntungan kepada nasabah dengan mengikuti hasil kinerja dari perusahaan
tersebut. Syariah
cenderung
lebih bergerak di sektor riil, dengan kesepakatan pola resiko keuangan di tanggung oleh kedua
pihak secara bersama-sama. Atau dengan kata lain, bank syariah menerapkan prinsip bagi hasilnya tuk
kelangsungan nasabahnya.
Risiko bisnis keuntungan dan kerugian ini dapat ditanggung oleh
kedua belah pihak yang bekerjasama. Sebagai contoh: jika situasi perbankan tak
menguntungkan karena naiknya rasio kredit bermasalah atau NPF sehingga
menggerus pendapatan, perbankan syariah tak perlu terlalu kasak kusuk tuk menyiapkan
dana cadangan seperti bank konvensional guna menutupi kredit bermasalah mereka,
Bagi hasil nasabah akan menyesuaikan dengan naik turunnya kinerja perbankan.
Sejarah mencatat, beberapa penyebab krisis ekonomi di tahun 1998 antara lain dikarenakan adanya beberapa hutang luar negeri swasta yang sangat besar
dengan beberapa diantaranya berjangka pendek, adanya kelemahan dalam sistem perbankan
Indonesia saat itu serta dampak iklim politik pasca reformasi yang semuanya itu mengakibatkan terjadinya perubahan iklim ekonomi.
Belajar dari penerapan sistem ekonomi syariah
yang sudah lebih dahulu populer di beberapa Negara lain seperti Jerman, Perancis,
Inggris, Italia, dan Malaysia, kunci keberhasilannya ekonomi syariah ini sekali
lagi tak lepas dari gaya sifatnya yang universal, bisa diterima semua pihak.
Sebagai poin tambahan, keberhasilan penerapan ekonomi syariah di mayoritas
Eropa justru karena cenderung tidak terlalu mempersoalkan istilah di sistem bunga atau riba
tapi lebih melihat jualan yang di
tawarkan dari prinsip syariah itu sesuai dengan apa yang mereka butuhan.
Di era krisis moneter 1998, satu satunya Industri perbankan
yang tidak mengalami krisis financial adalah perbankan syariah. Belajar dari
pengalaman tersebut, bank konvensional
mulai melirik bank syariah sebagai suatu bisnis yang harus tumbuh sebagai solusi
bertahan disaat krisis serta untuk mengurangi
ketergantungan terhadap inflasi.
Di harapkan dengan adanya upaya mendorong kembali pertumbuhan
syariah, kini masyarakat sudah mempunyai pilihan dual banking system yaitu bank
konvensional dan syariah. Masyarakat semakin mengetahui apa dan bagaimana
perbankan syariah itu. Tidak melihat lagi bank syariah dan konvensional sebagai
suatu sistem yang harus selalu di perbanding bandingkan benar salahnya, plus
minusnya, tetapi lebih mengajak masyarakat
bagaimana menggunakan sistem ekonomi perbankan syariah dengan cara yang lebih umum dan
sederhana, membuat masyarakat semakin gemar menabung di bank syariah dengan
jaminan kepastian dan hati lebih tenang.
Warisan pemikiran
Habibie lainnya adalah konsep mengenai ekonomi berbasis teknologi.
Konsep yang di kenal dengan sebutan Habibienomics
ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk, tidak hanya bermodalkan
nilai unggul komparatif tapi juga berdaya juang kompetitif.
Habibie dengan cara pandang teknologinya telah ikut andil
dalam membuka cakrawala berpikir masyarakat bahwa pengembangan ekonomi berbasis
teknologi, meningkatkan daya saing sumber daya yang ada, menciptakan nilai
tambah teknologi digital serta menitik beratkan kepada kombinasi perilaku
ekonomi dan strategi industrial, dan menjaga kedaulatan ekonomi, dapat mencapai
hasil keseluruhan dengan lebih baik dan efisien agar tetap bisa bersaing dengan
negara maju lainnya
Sejak kemunculan FinTech
(Financial Technology) kisaran tahun 2006- 2007, terjadi perkembangan mengenai
sebuah inovasi layanan keuangan digital yang terus dikembangkan untuk menunjang
munculnya model bisnis baru atau item penunjang dalam bidang industri
perbankan.
Bukti keseriusan dan dukungan pemerintah pun tak main main. Bank Indonesia FinTech Office pun dibentuk pada tahun 2016 untuk membuat
peraturan mengenai proses pembayaran
transaksi e-commerce agar lebih
efisien dan aman sehingga transaksi keuangan berbasis online menjadi lebih
mudah.
Industri perbankan termasuk syariah di tuntut untuk cepat menyesuaikan
diri, mengikuti perkembangan zaman agar tetap bersinergi. Perlu adanya
peningkatan implementasi system perbankan. Produk-produk segera di integrasikan
dengan layanan digital banking
seperti Mobile Internet Banking, uang
elektronik dan lain- lain.
Gunanya agar lebih
pelayanan lebih efisien, fleksibel dan menjangkau lebih terarah dalam meraup
segmen nasabah.
Tren digitalisasi perbankan transaksi ini akan semakin bekembang dan tak
menutup kemungkinan akan menggerus sebahagian struktur SDM perbankan seperti teller
dan pemasaran yang bisa tergantikan oleh teknologi marketing technologi (MarTech).
Seiring waktu pula, pekerjaan yang bersifat standar akan menjadi otomasi oleh
teknologi digital.
Kemunculan ragam dompet digital seperti Gopay, OVO, dan Link Aja
sebagai mitra keuangan lewat akses
handphone, berjalan beriringan dengan teknologi online perbankan. Cara ini
merupakan terobosan untuk mengubah kebiasaan masyarakat menjadi cashless dengan
penarik diskon atau cashback sebagai insentif kompensasi jasa mereka. Sedikit
demi sedikit tugas keseharian bank dapat tergantikan oleh perusahaan startup
ini. Nasabah atau pengguna layanan dompet digital yang di dominasi oleh
generasi mager alias malas gerak pun merasa terbantu. Mereka tak tak perlu membawa
uang fisik berlebih, dan dapat bertransaksi tanpa harus beranjak jauh
meninggalkan aktifitas tuk sekedar antri berjam-jam. Semuanya itu berawal dari
landasan pemikiran Habibienomics.
***
Tulisan ini juga sudah di muat di Rubrik Opini, Harian Tribun Timur Makassar,
Edisi Selasa, 01 Oktober 2019
Edisi Selasa, 01 Oktober 2019
Linknya silahkan klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar