Urang awak diranah daeng -2
Dalam zaman
perkembangan Islam khususnya di jazirah Sulawesi Selatan, tercatat beberapa
ulama dari ranah minang yang berperan dalam memperjuangkan dan menyebarkan
syiar Islam di Sulawesi selatan. Beberapa ulama termasyur tersebut adalah Datuk
Ri Bandang, Datuk ditiro serta Datuk
Sulaeman atau yang lebih dikenal dengan nama Datuk Patimang.
Tak dapat dipungkiri,
perjalanan dakwah datuk tiga serangkai ini cukup memberikan kontribusi proses
pembauran kebudayaan sumatera barat yang secara turun temurun kemudian
terbangun dan berlanjut dalam nilai nilai hidup masyarakat di kota daeng hingga
kini. Sebuah perpaduan nilai lokal budaya Islam itu sendiri dan sinergi budaya
lokal warga Melayu Makassar.
Proses akulturasi itu
pun kemudian menambah khasanah nilai hidup dalam penyebaran islam dimana seiring
waktu, nilai itu pun bergulir masuk berbaur kedalam sendi berbagai aspek
kehidupan masyarakat Makassar. Warna khas melayu minang pun dengan mudah dapat
ditemukan di beberapa titik kota. Corak itu pun di apresiasikan kedalam bentuk
bangunan ber arsitektur khas minang rumah gadang sebagai penguatan citra diri
warga sapayuang di makassar.
Makassar sebagai kota Metro
yang terus berbenah, bauran budaya tak lagi dapat diellakkan. Dengan mudah kita
dapat menemukan karakter khas simbol bentuk rumah minang model bagonjong / baanjung
atau rumah khas minang beratap runcing baik itu di pemukiman warga, ruang
pertemuan, majelis, ataupun di rumah makan ber khas salero minang yang tentunya
si pemilik adalah warga keturunan minang atau kerukunan keluarga sumatera barat
sapayuang. Selain sebagai symbol khas, bagonjong
ini berfungsi untuk lebih memperkuat karakter sang pemilik rumah sebagai
identitas diri orang minang, ikut melestarikan nilai khas budaya minang di
daerah rantau atau hanya tuk sekedar menghidupkan suasana ‘alam kampuang minang
nun jauh di mato.
Salah satu gedung
bercorak budaya Sumatera barat yang dapat kita jumpai di Kota Makasar diantaranya
yaitu Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah - Sulawesi Selatan yang terletak di
Jalan Perintis Kemerdekaan KM. 10 atau di sebelah timur dari pusat kota
Makassar. Menurut beberapa orang penduduk yang tinggal disekitar tempat itu, gedung
berlantai tiga ini merupakan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Mks ini dibangun di atas tanah wakaf milik Bapak
Mustamin Daeng Mattutu, seorang warga asal Kab. Bulukumba-Sulsel. Gedung ini pun
terbangun membentuk rumah khas rumah sumatera barat dan kini di fungsikan sebagai
gedung pusat kegiatan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia khususnya di
propinsi Sulawesi Selatan.
Pak
Kiai dan daeng Naba
Di
lingkup masyarakat Sulawesi Selatan khususnya warga melayu yang berdomisili di
Makassar sendiri, nama Pak Kiai Bakry Wahid sudah tidak asing lagi. Sejak
pertama kali menjejakkan kaki di ranah daeng sekitar tahun 1954, Pak Kiai Bakry
muda mengawali rantau dengan meniti karier dakwah mengabdi sebagai Guru agama
di sebuah SMP Islam di daerah Taman roya – Kab. Jeneponto-Sulawesi Selatan.
Selama
kurun waktu sepuluh tahun menjalani karir sebagai guru agama disalah satu SMP
dibumi Turatea Kab. Jeneponto. Sekitar
tahun 1964 kemudian, beliau kemudian menjadi Kepala kantor penerangan agama
kotamadya ujung pandang. Perpindahan ke kota Ujung
Pandang di tahun 1964 itu bertepatan dgn situasi zaman pergolakan pemberontakan
PRRI/Permesta dimana situasi pada saat itu juga untuk sementara tak
memungkinkan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Hingga akhirnya di
kota Ujung Pandang (sekarang Makassar) inilah, pengalaman hidup dan jiwa jurnalisme
dakwah beliau semakin terasah dengan adanya kesempatan diminta oleh kepala
kantor penerangan agama propinsi sulsel saat itu untuk mengisi acara bimbingan
agama berisikan topik seputar masalah agama dengan metode bersambung dan terkadang
diselingi pantun..
Berkat
antusiasme pendengar, evaluasi pun dilakukan setiap selesai melakukan kegiatan
pola dakwah. Karena dianggap masih kurang dalam hal metode penyampaian dakwah,
sebab belum sepenuhnya menyentuh kondisi sosiologis hingga akhirnya melahirkan inisiatif untuk membuat acara lanjutan dengan
penekanan lebih ke sesi dialog tanya jawab antara pak kiai dan sang penanya yang
dalam hal ini diwakili oleh teman dialog siaran pak kiai sendiri yaitu daeng
naba/daeng bani dengan membaca surat pertanyaan dari pendengar yang telah masuk
lewat programa siaran Radio Republik Indonesia. Acara
radio ini pun semakin menuai sukses semakin menarik banyak pendengar tidak
hanya bagi umat muslim sendiri tapi juga dari dan dan diluar islam sendiri
Tak
kenal maka tak sayang. Di era tahun 90-an saat era dimana saluran media radio dan
televisi swasta belum menjamur dan merajai media elektronik seperti sekarang
ini, secara rutin setiap shubuhnya Pak Kiai hadir di ruang dengar radio
keluarga dengan bahasa yg lugas dan aksentuasi minang, menemani masyarakat
makassar bersantap sahur dan mengkaji permasalahan islam sehari hari dalam
acara dialog agama “Pak Kiai dan daeng Naba”. Acara ini pun menjadi akrab di
telinga pendengar Radio RRI Nusantara IV Makassar diwaktu sahur di bulan
Ramadhan sampai waktu tanda masuk waktu imsyak berbunyi.
Setiap tahunnya dibulan
ramadhan mubaraq, beliau rutin menyapa pendengarnya di gelombang RRI Nusantara
IV Makasar hingga di pertengahan tahun 90-an, bersama almarhum Drs. Syamsu
Marlin dan kemudian sepeninggal daeng Naba kemudian dilanjutkan oleh Uztad H. Agung
Wirawan dg Bani. Dialog dialog tanya jawab yang mengalir segar, ringan dan
berbobot membuat acara ini menempati rating yang cukup tinggi di hati
pendengar. Nama “Pak Kyai” bagi sosok KH. Bakry Wahid pun kian melekat dan mendapatkan tempat di hati para pendengarnya.
Saat
itu, siaran radio menjadi bukti efektif
sebagai adalah media yang dianggap paling dekat ditelinga pendengar untuk
menyampaikan dakwah hingga jauh ke pelosok kampong. Jaman dimana belum semua
masyarakat mempuni kemampuan financial untuk membeli sebuah kotak tivi hitam
putih. Pendekatan lewat media ini
terbukti menjadikan siaran Radio saat itu mampu menjadi hiburan dan teman akrab
serta menjadi peran penting dimana masyarakat yang mampu menjangkau frekuensi
siaran dapat memperoleh informasi dan pembelajaran dengan cepat.
Figur ulamanya
tergambar secara retorik dengan bersandar pada quran dan hadist dgn bahasa yang
mudah di pahami disesuaikan dengan konstektual yang terjadi di masyarakat. Semasa hidup, sosok almarhum tampil memposisikan diri
dengan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dakwah di radio RRI
dan juga TVRI stasiun Ujung Pandang. Kala itu, masih dapat dihitung jari ulama
pendakwah saat itu yang memanfaatkan media elektronik untuk mensyiarkan dakwah lewat
Radio Republik Indonesia ‘Sekali diudara
tetap diudara’.
Jika
di era tahun 1940 – 1980-an, Indonesia pernah mempunyai seorang sosok ulama,
cendikiawan muslim dan sastrawan hebat yang berasal dari ranah Minang. Ulama
termasyur itu bernama Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang lebih
dikenal dengan nama Prof. Buya Hamka.
Entah karena kebetulan atau tidak, sosok ulama kharismatik dari Makassar ini juga berasal dari ranah Minang. Ulama Tersebut Bernama KH. Bakri Wahid (1930-2013). Dengan tidak bermaksud untuk mensejajarkan atau melebih lebihkan beliau dengan Alm. Prof Buya Hamka, Beberapa persamaan itu antara lain aktif di dunia berdakwah lewat pena jurnalistik, media elektronik, berbagai mimbar kajian serta merupakan salah satu putra minang yang terpanggil untuk mendedikasikan diri untuk kemaslahatan umat sampai akhir hayat lewat jalur dakwah lewat zamannya masing masing.
Entah karena kebetulan atau tidak, sosok ulama kharismatik dari Makassar ini juga berasal dari ranah Minang. Ulama Tersebut Bernama KH. Bakri Wahid (1930-2013). Dengan tidak bermaksud untuk mensejajarkan atau melebih lebihkan beliau dengan Alm. Prof Buya Hamka, Beberapa persamaan itu antara lain aktif di dunia berdakwah lewat pena jurnalistik, media elektronik, berbagai mimbar kajian serta merupakan salah satu putra minang yang terpanggil untuk mendedikasikan diri untuk kemaslahatan umat sampai akhir hayat lewat jalur dakwah lewat zamannya masing masing.
Dalam
Buku ‘Ulama Kesayangan Umat, Sebuah Sketsa Perjalanan dakwah’ Penerbit Cakrisma dan esatek bekerjasama
Yayasan Majelis Kajian Islam (Makin Islah) Tahun 2007, Almarhum menuliskan bahwa mengajar dengan baik adalah
belajar secara Mauizatun Hasanah, dimana belajar dengan guru yang baik, akan
menuntun penyesuaian pola hidup dan pengalamannya dengan Alquran dan hadist
yang shahih.
Setiap pendakwah
mempunyai gaya dan cara sendiri dalam menyampaikan dakwahnya. Demikian pula dengan buya, panggilan khas
Alm. KH Bakrie Wahid dalam lingkungan keluarga. Sebagai seorang pendakwah dengan latar budaya
islam melayu yang kuat, ilmu keislaman yang diperoleh melalui jenjang
pendidikan formal ditunjang dengan pengalaman berdakwah dari hulu kehilir
mimbar tanpa sekat dikotomi strata masyarakat yang komplit, menjadikan seorang
ulama buya bakri sebagai sosok sederhana, seorang pelukis kata kata yang mampu
merangkai kata dan menyampaikannya secara apik dan indah laiknya baris pantun petuah
bijak yang santun.
Cendikiawan Muslim itu
menutup mata dalam kitab kebaikan dibulan
Ramadhan 1434 H
Ramadhan 1434 H
Beberapa karangan bunga duka telah
dirapikan. Dibawah bulan purnama benderang malam itu, hanya dengan bergelaran
terpal plastik, para jamaah khusyuk melaksanakan sholat isya dan taraweh di
halaman beranda rumah sederhana Almarhum di bilangan jalan kumala tepatnya di
jalan Makmur, No 1 Makassar. untuk
kemudian dilanjutkan dengan mendengar tausiyah di malam pertama kepergian ulama
kharismatik KH Bakrie Wahid yg tutup usia di usia ke-83 tahun
Almarhum KH Bakri Wahid yang lahir di Lubuk Taram Sijunjung, Minangkabau, Sumatera Barat meninggal dunia di rumahnya hari Ahad Shubuh, Tgl 21 Juli 2013 atau Hari ke 13 Ramadhan 1434 H dalam suasana hening jelang sahur tiba setelah beberapa pekan di rawat di dua rumah sakit yakni RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Faisal. Almarhum menderita penyakit paru-paru dan jantung setelah beberapa waktu sebelumnya sudah mendapatkan perawatan yg intensif sampai ajal menjemput. Setelah disemayamkan selama beberapa jam di rumah duka, jenazah almarhum di sholatkan di Mesjid Raya Mks dan dikebumikan di Pekuburan Padang, Samata Kab. Gowa.-Sulawesi Selatan.
Almarhum KH Bakri Wahid yang lahir di Lubuk Taram Sijunjung, Minangkabau, Sumatera Barat meninggal dunia di rumahnya hari Ahad Shubuh, Tgl 21 Juli 2013 atau Hari ke 13 Ramadhan 1434 H dalam suasana hening jelang sahur tiba setelah beberapa pekan di rawat di dua rumah sakit yakni RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Faisal. Almarhum menderita penyakit paru-paru dan jantung setelah beberapa waktu sebelumnya sudah mendapatkan perawatan yg intensif sampai ajal menjemput. Setelah disemayamkan selama beberapa jam di rumah duka, jenazah almarhum di sholatkan di Mesjid Raya Mks dan dikebumikan di Pekuburan Padang, Samata Kab. Gowa.-Sulawesi Selatan.
Dedikasi diri terhadap
umat dan semangat berdakwah tak luntur meski sudah harus berjuang melawan
penyakit. Hingga tutup usia, almarhum tak pernah sekalipun tertarik untuk ikut terjun
dalam panggung politik dan juga tidak ingin
berpihak pada dua ormas islam terbesar di Indonesia. Seorang ulama yang rela jauh
meninggalkan kampung halaman untuk
menjadi seorang pendidik dan pendakwah di rantau orang. Meskipun saat itu usianya
sudah menghampiri umur 80 an, almarhum masih berusaha aktif membina puluhan
majelis taklim termasuk ponsok pesantren Ullumul Islam Makassar yang
didirikannya, Terkadang, almarhum masih menyempatkan diri untuk mengendarai
sendiri kendaraannya untuk memenuhi undangan dakwah di sekitar rumahnya, Seorang
sosok guru kiai dan ulama kesayangan
umat yang kini telah tiada dan semoga sikap,
ilmu dan bebaris perjuangannya akan selalu di kenang hingga akhir hayat.
Selamat jalan Bapak Kiai.
Selamat jalan Bapak Kiai.
Postingan terkait di Urang Awak diranah minang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar