Kamis, 01 Agustus 2013

Sepekan kepergian pak Kiai ke rumah Kematian (1932-2013)

Urang awak diranah daeng -2
(Sepekan kepergian pak Kiai ke rumah kematian)




Dalam zaman perkembangan Islam khususnya di jazirah Sulawesi Selatan, tercatat beberapa ulama dari ranah minang yang berperan dalam memperjuangkan dan menyebarkan syiar Islam di Sulawesi selatan. Beberapa ulama termasyur tersebut adalah Datuk Ri Bandang,  Datuk ditiro serta Datuk Sulaeman atau yang lebih dikenal dengan nama Datuk Patimang.

Tak dapat dipungkiri, perjalanan dakwah datuk tiga serangkai ini cukup memberikan kontribusi proses pembauran kebudayaan sumatera barat yang secara turun temurun kemudian terbangun dan berlanjut dalam nilai nilai hidup masyarakat di kota daeng hingga kini. Sebuah perpaduan nilai lokal budaya Islam itu sendiri dan sinergi budaya lokal warga Melayu Makassar.

Proses akulturasi itu pun kemudian menambah khasanah nilai hidup dalam penyebaran islam dimana seiring waktu, nilai itu pun bergulir masuk berbaur kedalam sendi berbagai aspek kehidupan masyarakat Makassar. Warna khas melayu minang pun dengan mudah dapat ditemukan di beberapa titik kota. Corak itu pun di apresiasikan kedalam bentuk bangunan ber arsitektur khas minang rumah gadang sebagai penguatan citra diri warga sapayuang di makassar.

Makassar sebagai kota Metro yang terus berbenah, bauran budaya tak lagi dapat diellakkan. Dengan mudah kita dapat menemukan karakter khas simbol bentuk rumah minang model bagonjong / baanjung atau rumah khas minang beratap runcing baik itu di pemukiman warga, ruang pertemuan, majelis, ataupun di rumah makan ber khas salero minang yang tentunya si pemilik adalah warga keturunan minang atau kerukunan keluarga sumatera barat sapayuang. Selain sebagai symbol khas,  bagonjong ini berfungsi untuk lebih memperkuat karakter sang pemilik rumah sebagai identitas diri orang minang, ikut melestarikan nilai khas budaya minang di daerah rantau atau hanya tuk sekedar menghidupkan suasana ‘alam kampuang minang nun jauh di mato.

Salah satu gedung bercorak budaya Sumatera barat yang dapat kita jumpai di Kota Makasar diantaranya yaitu Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah - Sulawesi Selatan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan KM. 10 atau di sebelah timur dari pusat kota Makassar. Menurut beberapa orang penduduk yang tinggal disekitar tempat itu, gedung berlantai tiga ini merupakan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Mks ini  dibangun di atas tanah wakaf milik Bapak Mustamin Daeng Mattutu, seorang warga asal Kab. Bulukumba-Sulsel. Gedung ini pun terbangun membentuk rumah khas rumah sumatera barat dan kini di fungsikan sebagai gedung pusat kegiatan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia khususnya di propinsi Sulawesi Selatan.

Pak Kiai dan daeng Naba
Di lingkup masyarakat Sulawesi Selatan khususnya warga melayu yang berdomisili di Makassar sendiri, nama Pak Kiai Bakry Wahid sudah tidak asing lagi. Sejak pertama kali menjejakkan kaki di ranah daeng sekitar tahun 1954, Pak Kiai Bakry muda mengawali rantau dengan meniti karier dakwah mengabdi sebagai Guru agama di sebuah SMP Islam di daerah Taman roya – Kab. Jeneponto-Sulawesi Selatan.

Selama kurun waktu sepuluh tahun menjalani karir sebagai guru agama disalah satu SMP dibumi Turatea  Kab. Jeneponto. Sekitar tahun 1964 kemudian, beliau kemudian menjadi Kepala kantor penerangan agama kotamadya ujung pandang. Perpindahan ke kota Ujung Pandang di tahun 1964 itu bertepatan dgn situasi zaman pergolakan pemberontakan PRRI/Permesta dimana situasi pada saat itu juga untuk sementara tak memungkinkan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Hingga akhirnya di kota Ujung Pandang (sekarang Makassar) inilah, pengalaman hidup dan jiwa jurnalisme dakwah beliau semakin terasah dengan adanya kesempatan diminta oleh kepala kantor penerangan agama propinsi sulsel saat itu untuk mengisi acara bimbingan agama berisikan topik seputar masalah agama dengan metode bersambung dan terkadang diselingi pantun..

Berkat antusiasme pendengar, evaluasi pun dilakukan setiap selesai melakukan kegiatan pola dakwah. Karena dianggap masih kurang dalam hal metode penyampaian dakwah, sebab belum sepenuhnya menyentuh kondisi sosiologis hingga akhirnya melahirkan inisiatif untuk membuat acara lanjutan dengan penekanan lebih ke sesi dialog tanya jawab antara pak kiai dan sang penanya yang dalam hal ini diwakili oleh teman dialog siaran pak kiai sendiri yaitu daeng naba/daeng bani dengan membaca surat pertanyaan dari pendengar yang telah masuk lewat programa siaran Radio Republik Indonesia. Acara radio ini pun semakin menuai sukses semakin menarik banyak pendengar tidak hanya bagi umat muslim sendiri tapi juga dari dan dan diluar islam sendiri

Tak kenal maka tak sayang. Di era tahun 90-an saat era dimana saluran media radio dan televisi swasta belum menjamur dan merajai media elektronik seperti sekarang ini, secara rutin setiap shubuhnya Pak Kiai hadir di ruang dengar radio keluarga dengan bahasa yg lugas dan aksentuasi minang, menemani masyarakat makassar bersantap sahur dan mengkaji permasalahan islam sehari hari dalam acara dialog agama “Pak Kiai dan daeng Naba”. Acara ini pun menjadi akrab di telinga pendengar Radio RRI Nusantara IV Makassar diwaktu sahur di bulan Ramadhan sampai waktu tanda masuk waktu imsyak berbunyi.

Setiap tahunnya dibulan ramadhan mubaraq, beliau rutin menyapa pendengarnya di gelombang RRI Nusantara IV Makasar hingga di pertengahan tahun 90-an, bersama almarhum Drs. Syamsu Marlin dan kemudian sepeninggal daeng Naba kemudian dilanjutkan oleh Uztad H. Agung Wirawan dg Bani. Dialog dialog tanya jawab yang mengalir segar, ringan dan berbobot membuat acara ini menempati rating yang cukup tinggi di hati pendengar. Nama “Pak Kyai” bagi sosok KH. Bakry Wahid pun kian melekat dan  mendapatkan tempat di hati para pendengarnya.

Saat itu,  siaran radio menjadi bukti efektif sebagai adalah media yang dianggap paling dekat ditelinga pendengar untuk menyampaikan dakwah hingga jauh ke pelosok kampong. Jaman dimana belum semua masyarakat mempuni kemampuan financial untuk membeli sebuah kotak tivi hitam putih.  Pendekatan lewat media ini terbukti menjadikan siaran Radio saat itu mampu menjadi hiburan dan teman akrab serta menjadi peran penting dimana masyarakat yang mampu menjangkau frekuensi siaran dapat memperoleh informasi dan pembelajaran dengan cepat.

Figur ulamanya tergambar secara retorik dengan bersandar pada quran dan hadist dgn bahasa yang mudah di pahami disesuaikan dengan konstektual yang terjadi di masyarakat. Semasa hidup, sosok almarhum tampil memposisikan diri dengan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dakwah di radio RRI dan juga TVRI stasiun Ujung Pandang. Kala itu, masih dapat dihitung jari ulama pendakwah saat itu yang memanfaatkan media elektronik untuk mensyiarkan dakwah lewat  Radio Republik Indonesia ‘Sekali diudara tetap diudara’.

‘Buya Hamka’ dari Makassar'



Jika di era tahun 1940 – 1980-an, Indonesia pernah mempunyai seorang sosok ulama, cendikiawan muslim dan sastrawan hebat yang berasal dari ranah Minang. Ulama termasyur itu bernama Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Prof. Buya Hamka.

Entah karena kebetulan atau tidak, sosok ulama kharismatik dari Makassar ini juga berasal dari ranah Minang. Ulama Tersebut Bernama KH. Bakri Wahid (1930-2013).  Dengan tidak bermaksud untuk mensejajarkan atau melebih lebihkan beliau dengan Alm. Prof Buya Hamka, Beberapa  persamaan itu antara lain aktif di dunia berdakwah lewat pena jurnalistik, media elektronik, berbagai mimbar kajian serta merupakan salah satu putra minang yang terpanggil untuk mendedikasikan diri untuk kemaslahatan umat sampai akhir hayat lewat jalur dakwah lewat zamannya masing masing.

Dalam Buku ‘Ulama Kesayangan Umat, Sebuah Sketsa Perjalanan dakwah’  Penerbit Cakrisma dan esatek bekerjasama Yayasan Majelis Kajian Islam (Makin Islah) Tahun 2007, Almarhum  menuliskan bahwa mengajar dengan baik adalah belajar secara Mauizatun Hasanah, dimana belajar dengan guru yang baik, akan menuntun penyesuaian pola hidup dan pengalamannya dengan Alquran dan hadist yang shahih.

Setiap pendakwah mempunyai gaya dan cara sendiri dalam menyampaikan dakwahnya.  Demikian pula dengan buya, panggilan khas Alm. KH Bakrie Wahid dalam lingkungan keluarga.  Sebagai seorang pendakwah dengan latar budaya islam melayu yang kuat, ilmu keislaman yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal ditunjang dengan pengalaman berdakwah dari hulu kehilir mimbar tanpa sekat dikotomi strata masyarakat yang komplit, menjadikan seorang ulama buya bakri sebagai sosok sederhana, seorang pelukis kata kata yang mampu merangkai kata dan menyampaikannya secara apik dan indah laiknya baris pantun petuah bijak yang santun.

Cendikiawan Muslim itu menutup mata dalam kitab kebaikan dibulan 
Ramadhan 1434 H

Beberapa karangan bunga duka telah dirapikan. Dibawah bulan purnama benderang malam itu, hanya dengan bergelaran terpal plastik, para jamaah khusyuk melaksanakan sholat isya dan taraweh di halaman beranda rumah sederhana Almarhum di bilangan jalan kumala tepatnya di jalan Makmur, No 1 Makassar.  untuk kemudian dilanjutkan dengan mendengar tausiyah di malam pertama kepergian ulama kharismatik KH Bakrie Wahid yg tutup usia di usia ke-83 tahun

Almarhum KH Bakri Wahid yang lahir di Lubuk Taram Sijunjung, Minangkabau, Sumatera Barat  meninggal dunia di rumahnya hari Ahad Shubuh, Tgl 21 Juli 2013 atau Hari ke 13 Ramadhan 1434 H dalam suasana hening jelang sahur tiba setelah beberapa pekan di rawat di dua rumah sakit yakni RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Faisal. Almarhum menderita penyakit paru-paru dan jantung setelah beberapa waktu sebelumnya sudah mendapatkan perawatan yg intensif sampai ajal menjemput. Setelah disemayamkan selama beberapa jam di rumah duka, jenazah almarhum di sholatkan di Mesjid Raya Mks dan dikebumikan di Pekuburan Padang, Samata Kab. Gowa.-Sulawesi Selatan.


Dedikasi diri terhadap umat dan semangat berdakwah tak luntur meski sudah harus berjuang melawan penyakit. Hingga tutup usia, almarhum tak pernah sekalipun tertarik untuk ikut terjun dalam panggung  politik dan juga tidak ingin berpihak pada dua ormas islam terbesar di Indonesia. Seorang ulama yang rela jauh meninggalkan kampung halaman  untuk menjadi seorang pendidik dan pendakwah di rantau orang. Meskipun saat itu usianya sudah menghampiri umur 80 an, almarhum masih berusaha aktif membina puluhan majelis taklim termasuk ponsok pesantren Ullumul Islam Makassar yang didirikannya, Terkadang, almarhum masih menyempatkan diri untuk mengendarai sendiri kendaraannya untuk memenuhi undangan dakwah di sekitar rumahnya, Seorang sosok  guru kiai dan ulama kesayangan umat  yang kini telah tiada dan semoga sikap, ilmu dan bebaris perjuangannya akan selalu di kenang hingga akhir hayat. 

Selamat jalan Bapak Kiai.


Postingan terkait di Urang Awak diranah minang

Tidak ada komentar: