Sketsa by Roso Daras
Pada perundingan dirumah Maeda ada rencana
untuk menyelenggarakan Proklamasi di Ikada. Tapi ternyata, pada tanggal 17
Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diselenggarakan dimuka rumah
Soekarno dijalan Pegangsaan Timur no 56. Soediro (Mantan Walikota saat tahun
1945 menjabat wakil kepala barisan Pelopor) bercerita. Sejak tanggal 14 Agustus
1945, dia menugaskan Soehoed (tampak dalam foto proklamasi seorang pemuda
bercelana pendek) dan beberapa orang pelopor istimewa untuk menjaga keluarga
Soekarno. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari, Soehoed melaporkan bahwa
telah datang Soekarni dan Chaerul Saleh dan kawan-kawannya. Soehoed tidak
curiga karena Caherul juga anggota pelopor istimewa. Demikian juga ketika
Soekarno sekeluarga dibawa pergi tidak ada kecurigaan sebagai peristiwa
penculikan.
Pada mereka timbul semangat lagi ketika
Soekarno kembali pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari. Berkaitan dengan
perintah Dr Muwardi (pimpinan barisan Pelopor) untuk melakukan persiapan
upacara 17 Agustus 1945, Soediro memanggil para pembantunya untuk turut menyebarkan
akan adanya acara sangat penting pada tanggal 17 Agustus 1945. Misalnya
K.Gunadi diserahkan tugas untuk menyampaikan instruksi tertulis yang ditujukan
pada para anggota barisan pelopor istimewa dan eksponen barisan pelopor
lainnya. Sedangkan Daitai-daitai di kawedanaan dan Cutai-cutai dikecamatan
banyak yang sudah dihubungi sendiri, secara pertilpun atau perkurir.
Instruksinya antara lain, berkumpul dilapangan Ikada tanpa membawa panji
pelopor pada jam 11.00 untuk keperluan menghadiri upacara penting. Ketika
dengan bersepeda Soediro pagi harinya menuju Ikada, dia heran karena melihat
disitu banyak Jepang bersenjata.
Timbul
pertanyaan dibenaknya, apakah berita sudah bocor ?. Dia lalu menghubungi Dr
Muwardi dirumahnya dan dari penjelasan Dr Muwardi ternyata Proklamasi tidak
jadi di Ikada tapi dirumah Soekarno. Maka dengan cepat disebarkanlah pembetulan
informasi bahwa pelaksanaan proklamasi dipindahkan di Pegangsaan Timur 56.
Kepada Soehoed diperintahkan untuk menyiapkan tiang bendera tepat dimuka kamar
depan, hanya beberapa meter dari teritis rumah. Setelah itu Soediro pulang
kerumahnya sebentar. Ketika dia kembali dilihatnya telah hadir Soewirjo, Dr
Muwardi, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, Trimurti dan masih banyak lagi.
Tidak tampak wajah Wikana, Soekarni, Chaerul
Saleh maupun Adam Malik. Dimuka beranda rumah sudah terpasang mikrofon dan
versterker (amplifier) yang disewa dari Gunawan pemilik perusahaan jasa
penyewaan sound system “Radio Satrija” yang beralamat dijalan Salemba Tengah
no.24. Acara proklamasi sederhana ini mengikuti mata acara yang dipersiapkan
yaitu : Pembacaan proklamasi oleh Soekarno disambung pidato singkat, Pengerekan
bendera merah putih, Sambutan Soewirjo dan Sambutan Dr Muwardi. Pada acara
pertama, Soekarno membaca Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah
ditandatangani Soekarno-Hatta (foto 1 dan 2). Kemudian Soekarno berpidato
singkat tanpa teks. Untuk pengerekan bendera awalnya diminta kesediaan
Trimurti, tapi dia menolak lalu mengusulkan sebaiknya dilakukan oleh seorang
prajurit. Maka Latif Hendraningrat, yang masih memakai seragam lengkap PETA,
maju kedepan sampai dekat tiang bendera.
Soehoed didampingi seorang pemudi muncul dari
belakang membawa sebuah baki nampan berisi bendera Merah Putih (bendera pusaka
yang dijahit Fatmawati beberapa hari sebelumnya). Maka dikereklah bendera
tersebut oleh Latif dibantu Soehoed. Setelah berkibar, spontan hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Melihat foto (3) Proklamasi, nampak
membelakangi lensa Fatmawati dan Trimurti. Tampak Soekarno bersama Hatta lebih
maju dari tempat berdiri saat pembacaan proklamasi. Sebuah foto lain (4) yang
diambil dari belakang Soekarno, menggambarkan para hadirin lainnya yang berdiri
dekat tiang bendera. Mereka terdiri dari para pemuda-mahasiswa Ika dai Gakko.
Pada acara ketiga, Soewirjo yang dizaman Jepang
menjabat wakil walikota berpidato. IPPHOS juga mengabadikan peristiwa ini.
Namun sampai hari ini tiada dokumen yang menjelaskan apa yang diucapkan
Soewirjo. Demikian juga tidak ditemukannya naskah pidato Dr Muwardi yang akan
mengisi acara keempat. Karena tiadanya dokumen, timbul pertanyaan apakah Dr
Muwardi benar-benar berpidato ? Setelah upacara selesai berlangsung, tiba-tiba
masuk sambil berlari kurang lebih 100 orang anggota pelopor yang dipimpin
S.Brata. Mereka tidak tahu terjadinya perubahan tempat, sehingga ketinggalan
acara. Namun menuntut terus agar Soekarno membacakan lagi Proklamasi. Ahirnya
Soekarno yang sudah masuk kamar, keluar lagi dan menjelaskan melalui mikrofon
bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang. Karena masih kurang puas mereka
minta kepada Hatta untuk memberikan amanat singkat. Hatta kemudian
meluluskannya.
Yang juga terlambat adalah Dr Radjiman
Wedjodiningrat dan beberapa anggota PPKI. Dalam buku Lahirnya Republik Indonesia,
Soebardjo mengaku dibangunkan utusan Soekarno agar datang ke Pegangsaan Timur
56, tapi dia mengirim pesan minta maaf karena kelelahan akibat perjalanan
pulang pergi Jakarta-Rengasdengklok dan mengikuti rapat dirumah Maeda.
Soebardjo memang tidak nampak saat proklamasi. Setelah acara selesai, Soediro
dan Dr Muwardi memilih 6 orang anggota barisan pelopor istimewa, pelatih pencak
silat menjadi pengawal Soekarno-Hatta Kelompok ini dipimpin oleh Soemartojo.
Sampai selesainya proklamasi fihak Jepang tidak menyadari apa yang telah
terjadi. Mereka baru datang setelah Hatta pulang kerumahnya. Tiga orang perwira
Jepang yang datang ini mengaku diutus Gunseikanbu untuk melarang Proklamasi.
Tapi Soekarno yang menghadapinya dengan tenang, menjawab bahwa Proklamasi sudah
dilaksanakan.
Fotografer Proklamasi itu bernama Frans Mendur
Tanggal 16 Agustus, berita seputar proklamasi akan
diumumkan sudah santer terdengar di kalangan pemuda. Namun belum pasti, dimana
proklamasi keesokan harinya akan dibacakan. Apakah di lapangan Ikada, atau di
rumah Soekarno. Barisan Pelopor bahkan sudah diperintahkan untuk mengamankan
lapangan Ikada yang saat ini dikenal sebagai kawasan Monas.
Ketika itu Frans Mendur adalah juru foto Asia Raya sedangkan saudara kandungnya, Alex Mendur, adalah juru foto kantor berita Domei. Keduanya mendapat informasi soal proklamasi di kediaman Soekarno, Jl Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat.
Ketika itu Frans Mendur adalah juru foto Asia Raya sedangkan saudara kandungnya, Alex Mendur, adalah juru foto kantor berita Domei. Keduanya mendapat informasi soal proklamasi di kediaman Soekarno, Jl Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat.
Kedua saudara kandung itu menempuh jalan yang
berbeda ke lokasi pembacaan proklamasi. Saat itu Frans Mendur hanya memiliki
tiga buah plat film (dulu belum ada rol film). Dia menjepret peristiwa
bersejarah itu tiga kali. Saat Soekarno membacakan teks proklamasi bersama
Hatta. Ketika Latief dan Suhud mengerek bendera merah putih dan satu lagi
sama-sama foto pengibaran bendera, namun dengan latar belakang kumpulan
masyarakat yang berjejal menyaksikan proklamasi.
Keduanya baru menyadari, hanya merekalah juru foto
di tempat itu. Saat itu memang proklamasi berlangsung dengan spontan. Tanpa ada
persiapan-persiapan khusus. Apalagi panitia, master of ceremony (MC) atau seksi
acara. Mereka pun lupa mengundang jurnalis, kameramen atau wartawan untuk
meliput peristiwa maha penting tersebut.
Saat itu Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film. Jadi
dari peristiwa bersejarah itu, ia hanya bisa mengabadikan tiga adegan. Yang
pertama, adegan Soekarno membacakan teks proklamasi. Yang kedua, adegan
pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat, salah
seorang anggota PETA. Dan yang ketiga, suasana ramainya para pemuda yang turut
menyaksikan pengibaran bendera. Setelah menyelesaikan tugas jurnalisnya itu,
Frans langsung bergegas meninggalkan rumah kediaman Soekarno karena menyadari
bahwa tentara Jepang tengah memburunya.
Frans menjadi satu-satunya orang yang mengabadikan momen sakral itu karena Alex
Alexius Impurung Mendoer, kakak kandungnya yang juga sempat memotret prosesi
bersejarah tersebut, harus merelakan kameranya dirampas oleh tentara Jepang.
tentara
Jepang menemui Frans untuk meminta negatif foto Soekarno yang sedang membacakan
teks proklamasi, Frans mengaku film negatif itu sudah diambil oleh Barisan
Pelopor. Padahal negatif foto peristiwa yang sangat penting itu ia sembunyikan
dengan cara menguburnya di tanah, dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor
harian Asia Raya.
Pencucian tiga buah foto bersejarah itu juga tidaklah mudah karena dihalang-halangi pihak Jepang. Frans bersama Alex terpaksa secara diam-diam harus mengendap, memanjat pohon pada malam hari, dan melompati pagar di samping kantor Domei (sekarang kantor berita ANTARA) untuk bisa sampai ke sebuah lab foto guna mencetak foto-foto tersebut. Padahal, bila dua bersaudara itu tertangkap oleh tentara Jepang, mereka akan dipenjara, bahkan dihukum mati
Alex dan Frans mencuri-curi kesempatan untuk mencetak foto itu di kamar gelap Kantor Berita Domei. Foto pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu pertama kali dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, lebih dari setengah tahun setelah pembuatannya. Film negatif catatan visual itu sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi. Ada dugaan bahwa negatif film itu ikut hancur bersama semua dokumentasi milik kantor berita Antara yang dibakar pada peristiwa di tahun 1965. Waktu itu, sepasukan tentara mengambil seluruh koleksi negatif film dan hasil cetak foto yang dimiliki Antara lalu membakarnya
Kedua bersaudara ini merintis pendirian IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) pada 2 Oktober 1946 di Jakarta. Bahwa jika Frans Mendur dulu tidak berani melawan tentara Jepang, tidak akan ada foto-foto proklamasi Republik Indonesia. Frans Mendur adalah satu-satunya fotografer yang berhasil mengabadikan momen paling penting bagi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
(diambil dari berbagai sumber sekitar Proklamasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar