Ramadhan, bulan cinta umat Islam yang selalu dinanti
kini sudah diambang pintu. Tentunya bagi pemeluknya di belahan bumi manapun segera
menyambutnya dengan penuh suka cita. Begitu pula dengan masyarakat di
Indonesia. Adanya pengaruh bauran budaya secara turun temurun akhrinya ikut memberi andil mempengaruhi tradisi dalam
masyarakat. Tradisi yang mengakar telah memberi warna
ramadhan atau kebiasaan kebiasaan unik pada umumnya yang sangat sering kita
lakukan hingga bahkan malah akhirnya menjadi perdebatan kusir di warung kopi
1. Lebarannya 'dua kali'
Awal Ramadan berdasarkan Rukyat dan Hisab
Beberapa tahun terakhir, karena perbedaan mazhab sehingga
perayaan hari raya idul fitri menjadi tak serentak. Masing masing umat yang
menjadi bagian dari mazhab tersebut saling meyakini bahwa perhitungan jatuhnya
satu syawal berdasarkan dari pemahaman mereka dengan bersandar pada keyakinan
masing masing.
Bagi kalangan NU (Nahdatul Ulama) menggunakan metode Rukyah
yaitu berdasarkan fakta fisik, dengan cara 'melihat' dengan mata baik mata
telanjang maupun dengan alat ukur astronomis, hisab berdasarkan ilmu dan
hitungan matematis (Astro Geodesy). Dasar mereka yang menggunakan rukyat adalah Surat Al Baqarah,
ayat 185 : "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. "
Lain lagi dari kalangan Muhammadiyah. Dasar yangdigunakan adalah metode hisab (Perhitungan) dengan bersandar pada Surat Al Rahman, ayat 5 :
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.". Islam selalu mengikuti perkembangan jaman dengan tetap mengacu kepada koridor Alquran dan Hadist sebagai pedoman Hidup. Dijaman sekarang, kita tak bisa menafikan pemanfaatan teknologi tentu untuk lebih memudahkan serta mengakurasi tingkat ketepatan
penampakan bulan pada satu syawal. Tidak secara penampakan kasat semata.
Salah seorang kerabat yang kebetulan sekolah di sebuah
perguruan tinggi negeri di Jogjakarta, mengatakan bahwa sewaktu memperoleh pelajaran
Hitungan Astronomi dan Astro Geodesi sewaktu kuliah, perhitungan penentuan
hilal seperti itu dapat diketahui secara akurat. Sehingga beliau pun yakin
terhadap hasil perhitungan dari pelajaran hasil hitungan astronomi. Namun kenyataannya,
ilmu astronomi ini terbatas dan hanya popular bagi umat Islam atau mereka yang
mungkin kebetulan sempat mempelajarinya. Jadi, surat Al Baqarah ayat 185 diatas
lebih 'PAS' untuk digunakan. Kalau sudah rukyat, biasanya hisab pasti sudah
terpenuhi, namun belum tentu sebaliknya.
Disisi lain, rukyat bisa saja tak terpenuhi jika pada saat itu
cuaca sedang mendung atau pandangan terhalang oleh awan hitam sehingga hilal
tak terlihat oleh kasat mata. Terlepas dari kedua pemahaman tersebut, yang
pasti masing masing 'syah' saja meyakini mashab masing masing. Ada yang menyerahkan
sepenuhnya kepada hasil sidang isbat penentuan dari pemerintah karena berfikir
keputusan dari pemerintah, dalam hal ini ulil amri tentulah tak akan
menyesatkan. Kalaupun hasilnya salah, tentu dosa akan kembali kepemimpin atau
yang memutuskannya. Walhasil, dari konsistensi pemahaman itu, Tanggal perayaan
hari lebaran pun menjadi beda.
Hanya di Indonesia…
2. Ziarah Kubur /
Nyekar / Mappabunga
Sudah menjadi tradisi
keluarga kami dan juga mungkin hampir di semua penduduk muslim di
Indonesia setiap tahunnya sesaat menjelang memasuki hari pertama ramadhan
tumpah ruah ke pemakaman/ pekuburan umum dan keluarga.
Sepertinya ini sudah
menjadi tradisi yg ‘wajib’. Menziarahi kuburan para leluhur, Handai taulan serta kerabat yang lebih dahulu
berpulang kehadirat, sekedar mengenang kembali masa saat masih bersama di
tengah keluarga. Memanjatkan doa, sekedar mencabuti rumput dan memberi kembang
serta menyiramkan air dengan harapan simbol 'memberikan kesejukan serta
keharuman' agar yang telah berpulang Entahlah siapa yang memulai tradisi ini.
Tapi pada hakekatnya niatnya adalah mengirimkan doa agar arwah yang telah
berpulang itu senantiasa dilapangkan kuburnya serta mendapatkan derajat
tertinggi disisi NYA.
Tak ayal lagi, jalanan disepanjang area pemakaman pun menjadi
macet. Para kendaraan peziarah yang terparkir di pinggir jalan mengambil
sedikit ruas jalan membuat kendaraan lain menjadi melambat dan bahkan
menyebabkan macet. Para ‘uztad pembaca
doa’ dadakan jadi kebanjiran job hingga
kadang lafadz doa yang dibaca tak lagi jelas artikulasinya. Belum lagi para
penjaja bunga, pengemis serta penjual air yang saling berebutan mencari pembeli
membuat suasana pemakaman yang biasanya sepi malah ramai layaknya Mall.
Hanya di Indonesia …
Sebagai orang yang
tinggal di pemukiman umum, petasan dan meriam bamboo sudah menjadi pemandangan
biasa bagi kami. Heran juga, meskipun dilarang selama bulan ramadhan, penjualan
petasan ini tetap saja ada disana sini. Anak anak kecil sekitar rumah kami
menjadikan petasan itu sebagai puncak hiburan diwaktu jelang sholat taraweh
hingga sahur tiba. Kadang keisengan mereka sudah melebihi batas dengan sengaja
membuang petasan yang sudah tersulut ke para teman remaja putri yang hendak
menuju mesjid.
Tentu saja si ‘korban’
remaja putri ini menjadi kaget dan ketakutan karena bunyi ledakan yang secara
tiba tiba meledak didekat mereka. Anak
kecil yang membuang petasan tersebut pun jadi tertawa terbahak dengan seringai
puas.
Tapi seiring waktu,
pelaku petasan itu tak lagi didominasi oleh anak kecil dibawah umur yang
sejatinya belum terlalu mengerti apa apa selain tuk bermain. Pemain petasan pun
berganti menjadi remaja tanggung yang meledakkan meriam bambu, yaitu sebuah bambu
yang telah dirancang seperti laiknya meriam asli dan disulut dengan sumbu dan minyak
tanah hingga menghasilkan suara menggelegar. Remaja dan orang dewasa yang
harusnya memberi contoh itu justru lebih mendominasi permainan ini bahkan tanpa malu kerap
melakukannya dipinggir jalan terbuka pada malam malam ramadhan.
Sekali lagi, hanya di
Indonesia …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar